Ide Cerita: Elva dan Heri
Gambar: Di download dari internet.
Menjalani pernikahan di minggu kedua masih terasa bagai pengantin baru, meskipun akhirnya ada secuil perbedaan pendapat yang kemudian menjurus pada perdebatan. Menyatukan dua hati yang memiliki prinsip berbeda, tak semudah membalikkan telapak tangan, butuh proses dan memprosesnya butuh kesabaran.
Bunga, wanita muda yang terpaut usia dua tahun dari suaminya bernama Wendra, sesegukan di depan setrikaan. Tangan kanannya sibuk melindaskan besi panas ke baju kemeja yang masih sedikit lembap.
"Maafkan Abang, ya!" Wendra mendekap Bunga dari belakang.
"Harusnya aku yang minta maaf, sehingga kemeja ini harus Abang pakai dalam keadaan lembap."
Wendra bekerja di salah satu bank Jakarta, hampir dua bulan ia mengabdikan diri menjadi SPBM. Pekerjaannya yang mempromosikan pinjaman pada masyarakat, mengharuskannya menggunakan kemeja setiap lima hari jam kerja. Dan itu mengharuskan Bunga mencuci kemeja suaminya pada malam hari. Hanya tiga kemeja yang ada, dua kemeja polos yang akan dipakai bergantian dari Senin hingga Kamis dan satu kemeja batik yang khusus dipakai di hari Jum'at. Jika tak dicuci segera maka jangan harap dapat dipakai pada keesokan harinya. Dan hari itu, Bunga lupa mencuci kemeja yang harus dipakai suaminya hari ini.
"Aku mencuci secara manual, tanpa pengering seperti yang dilakukan tetangga. Makanya susah untuk kering."
"Bukannya minggu-minggu lalu aku bisa memakai kemeja kering?" Wendra menarik tangannya yang sedari tadi melingkar pada Bunga.
"Cuaca minggu ini tak sebagus minggu lalu, Bang!"
Wendra tak meneruskan kalimatnya, ia tak ingin perdebatan semakin meruncing. Usai menyetrika, Bunga menyiapkan sarapan dan bekal untuk suaminya. Mereka harus berhemat, karena gaji yang diterima suaminya tinggal beberapa lembar pecahan lima puluh ribuan, sedangkan tanggal 25 masih dua minggu lagi.
"Sudah, jangan sedih lagi. Yang sudah ya sudah, biasa aja dalam rumah tangga dibumbui kesalah pahaman. Yang terpenting tak diperpanjang. Oke, Sayang!" Wendra mencubit mesra pipi Bunga, membuat wanita itu tersipu malu dan meraih tangan suaminya.
"Hati-hati di jalan ya, Bang. Nanti, pulang jam berapa?"
"Mungkin agak malam, karena di Cabang ada rapat."
Bunga mencium punggung tangan suaminya, dengan rasa kasih.
***
'Lagi di mana, Bang?' Bunga mengirim pesan pada Wendra.
Lelaki itu tak kunjung membalas SMS, hingga satu jam kemudian.
'Masih di kantor, sebentar lagi pulang.'
Bunga memandangi handphone tiada henti, pukul delapan malam suaminya belum kunjung pulang. Perasaan khawatir berkecamuk di benaknya, terlebih kejadian pembegalan dua hari lalu terjadi di jalan Kalisari, jalan yang biasa dilewati Wendra.
Lafal doa tiada henti dilantunkan, dalam kepasrahan.
"Dik, buka pintu!" Suara lelaki terdengar dari luar, diiringi ketukan pintu.
Mendengar suara itu, Bunga lalu mematikan pencahayaan di dalam rumah, lalu pelan-pelan mengintip dari balik tirai. Memastikan, yang memanggil adalah suaminya atau bukan.
"Kok lama?" tanya Wendra setelah pintu dibuka.
"Mau memastikan dulu, Bang. Yang manggil tadi Abang atau bukan." Ucap Bunga berbisik.
"Alhamdulillah! Kamu istri yang pandai membawa diri. Kamu harus hati-hati sebelum membukakan pintu, apalagi sudah malam." Wendra mencium kening Bung.
Dengan telaten Bunga menyambut kedatangan suaminya, mencium punggung tangan sebagaimana yang dilakukannya pagi tadi, meraih tas, lalu menyiapkan pakaian dan makan untuk sang terkasih.
"Kenapa pulangnya sudah malam banget, Bang? Aku khawatir, apalagi jalanan yang biasa Abang tempuh sepi." Bunga menyendokkan nasi dan lauk ke piring, lalu memberikannya pada Wendra.
"Tadi rapatnya sedikit dimundurkan, mau pulang nggak enak sama atasan. Oh ya, Dik. Sabtu ini Abang bersama rombongan ada pelatihan ke Bandung."
"Istri boleh dibawa nggak?" Bunga senyum-senyum.
"Ya nggak boleh, Sayang. Ini kan bukan acara jalan-jalan, tapi pelatihan. Tapi, Abang khawatir kalau kamu sendirian di rumah. Atau bagaimana jika kamu ajak Erika menginap di rumah kita?"
Bunga hanya mengangguk pelan, karena kecewa tak bisa ikut.
Erika, adik perempuan Bunga yang sudah lama menetap di Jakarta. Ikut merantau suaminya yang bertugas menjadi abdi Negara. Jarak rumah pun tak terlalu jauh, hanya lima menit jarak tempuh.
***
"Bagaimana, Ka, bisa ya menginap di rumah? Satu malam aja. Karena siangnya Bang Wendra sudah pulang dari Bandung."
"Aku izin ke Mas Bagus dulu ya, Mbak?"
"Oke deh. Nanti kabari ya!"
Telepon ditutup setelah Erika mengatakan 'Ya' diakhir percakapan itu.
***
Sabtu pukul lima pagi. Usai shalat Subuh, Wendra telah siap akan berangkat menuju kantor. Sarapan dengan nasi putih dan sayur selada yang dipengap dengan ikan teri, menjadi menu ternikmat hari itu.
"Jadi Erika menginap di sini?" Tanya Wendra dengan air muka yang sedikit cemas.
"Iya, Bang. Abang jangan khawatir, Erika sudah diizinkan suaminya menginap."
"Bagus deh, setidaknya Abang berangkat dengan tenang."
Pagi itu menjadi pagi yang lembap oleh kabut air mata, berat rasanya melepaskan keberangkatan sang suami. Namun, harus sanggup melepaskan agar sang suami selamat di perjalanan.
Bunga mengunci pintu lalu kembali berkutat membereskan pekerjaan rumah yang sempat tertunta. Akan tetapi, sesuatu hal membuat Bunga terperanjat meraih sesuatu kemudian buru-buru membuka pintu untuk menyusul suaminya. Akan tetapi semua sia-sia, karena punggung Wendra sudah tak terlihat.
Bersambung di Bunga Part II
Tidak ada komentar
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar yang dapat membangun tulisan saya.
Mohon maaf, komen yang mengandung link hidup tidak saya publish ya :)