Penulis: Elva Susanti
Ide Cerita: Elva dan Heri
Image: Googleimage
Ide Cerita: Elva dan Heri
Image: Googleimage
Kisah pertama dapat dilihat di episode Bunga.
Pagi yang lembap oleh kabut air mata, itulah yang dirasakan Bunga saat melepaskan keberangkatan Wendra pelatihan ke Bandung. Rasa cemburu tiba-tiba menggelayuti hatinya.
"Hati-hati di jalan ya, Sayang! Sempatkan berkirim kabar kalau sudah sampai di sana," Bunga mencium punggung telapak tangan suaminya.
Usai melepas keberangkatan sang suami, Bunga kembali berkutat membereskan pekerjaan rumah yang sempat tertunda. Akan tetapi sesuatu hal membuat Bunga terperanjat, lalu meraih apa yang dilihatnya. Dengan langkah terburu-buru membuka pintu, berusaha menyusul suaminya. Akan tetapi semua sia-sia, karena punggung Wendra sudah tidak terlihat.
'Duh, bagaimana ini? Aku nggak bisa menghubunginya.' Bunga menggumam pada handphone Wendra yang tertinggal.
***
Pukul lima sore, Erika bersama dua anaknya telah sampai di pekarangan rumah Bunga. Senja kala itu terasa sunyi, tak tampak ada aktivitas penghuninya.
"Assalamu'alaikum! Mbak Bunga." Erika menggedor pintu, namun belum ada sahutan si empunya rumah.
Erika menarik lengan kedua anaknya menuju halaman belakang. Di bawah pohon jambu biji, Bunga duduk memerhatikan tingkah dua ekor kucing peliharaannya dengan dagu disandarkan pada lutut.
"Mbak!" ucap Erika, mengagetkan Bunga.
"Astagfirullah, Dek. Kamu mengagetkan saja. Ucap salam, kek!"
"Hmmm ..., Mbak melamun ya? Hingga suaraku nggak kedengaran. Mikirin apa, sih?" Erika memandangi kakaknya.
Tiada jawaban, saat memandangi dua keponakannya yang cantik-cantik barulah Bunga melepaskan diri dari lamunannya. Dengan rasa cinta Bunga menggendong si bungsu Meilani, membuat Sarah, sang kakak cemberut.
"Ayo, Sayang, kita ke dalam! Makwo masak kolak ubi ungu kesukaan Kakak Sarah, loh!"
Mendengar itu, Sarah melompat kegirangan. Kolak ubi ungu adalah makanan kesukaan Sarah, dan hari itu Bunga sengaja membuatkan kolak yang disukai keponakannya.
"Makwo, Pakwo mana?" Meilani yang selalu dekat pada Wendra tiba-tiba menanyakan keberadaannya.
"Pergi kerja, Sayang!"
Erika melihat air muka kakaknya sedikit keruh saat Wendra disebut.
"Kakak sama adik nggak boleh berantem, ya! Mama dan Makwo mau ke belakang sebentar!" Ia mengajak Bunga ke halaman belakang ketika kedua anaknya sedang menikmati kolak ubi ungu di dapur.
"Mbak Bunga sehat-sehat saja, kan?"
Bunga tak mengubris, tatapannya kosong. Hingga pertanyaan yang kedua kali barulah ia tersadar.
"Ka, kamu pernah nggak merasa kesal dengan suamimu?"
"Kok tiba-tiba nanyain itu, Mbak? Mbak Bunga berantem sama Bang Wendra, ya?"
"Enggak sih, hanya saja entah mengapa dua hari ini aku merasa kesal sama dia. Sering pusing juga."
Erika mengamati kakaknya, ada sesuatu yang berbeda. "Mbak, sudah cek belum? Siapa tahu positif, Mbak!" Bisiknya.
Mendengar itu Bunga merasakan debaran seketika. Apa mungkin yang diinginkan akan sesegera ini datang?
"Aku selalu merasa cemburu sama suamiku, Dek. Apalagi hari ini dia ke Bandung."
"Itu hanya perasaan Mbak saja, lebih baik didoakan agar pekerjaannya lancar."
'Entahlah!' Erika menggumam.
***
Usai Salat Ashar Bunga langsung menuju apotik terdekat, ingin memastikan apa yang dikatakan adiknya benar, bahwa ia sedang hamil.
Dengan rasa berdebar buru-buru ia pulang, lalu menuju kamar mandi membuka plastik testpack kemudian merendam ujungnya ke dalam wadah kecil berisi urin. Ia duduk memandangi waktu, ingin memutar lebih cepat agar segera tahu hasil akhir.
Setelah tiga puluh menit berlalu, tampak dua garis sejajar berwarna merah. Ia mendekat dan mengucek mata berkali-kali. "Aku hamil? Alhamdulillah, aku hamil!"
Hasil testpack disimpannya baik-baik, ingin menunjukkan pada Wendra, sepulangnya dari Bandung.
Menjelang senja, Wendra pulang. Dengan tidak sabar ia mengetuk pintu, akan tetapi tiada sahutan. Ingin mengirim pesan singkat melalui WhatsApp, handpone tidak ada. Ia bingung.
"Ke mana saja sih, Dek? Kamu tahu nggak kalau aku ini capek? Mau dihubungi juga nggak bisa." Tukas Wendra menerobos masuk.
"Maaf, tadi lagi di ...."
Wendra langsung memotong dan berlalu begitu saja, "Aku capek, mau istirahat!"
Bunga mengurungkan niatnya, menyimpan apa yang ingin ditunjukkan, entah berapa lama.
***
"Abang, aku mau ngomong ssesuatu."
"Aku juga sama, Dek, ada yang mau aku sampaikan." Wendra memasang wajah serius.
Bunga menyilakan suaminya bicara lebih dulu.
"Begini, kamu kan tahu sendiri kalau aku kerja di Bank dan Bank itu berbunga." Wendra mengecilkan suara.
Bunga mengangguk dan mendengarkan dengan serius.
"Kalau bisa, kita tunda dulu kehamilanmu. Soalnya nyari kerja di Jakarta tidak gampang.
Lagipula, Abang tidak mau memberi makan anak kita dengan uang riba. Cukup kita saja untuk saat ini."
"Tapi, Bang ...!"
"Simpan dulu kata tapi!" Sergah Wendra.
Bunga kembali mengurungkan niatnya untuk menceritakan kehamilannya pada Wendra, cukup dia saja yang tahu saat ini.
Bersambung di Bunga Part 3 (Episode Terakhir)
Tidak ada komentar
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar yang dapat membangun tulisan saya.
Mohon maaf, komen yang mengandung link hidup tidak saya publish ya :)